Minggu, 27 November 2011

Hukum Perikatan - Undang-Undang


Sumber pokok dari perikatan adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang & perbuatan manusia dan undang-undang saja. Sedangkan sumber dari undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang melawan hukum dan perbuatan yang menurut hukum.
Pasal pertama dari Buku III undang-undang menyebutkan tentang terjadinya perikatan-perikatan dan mengemukakan bahwa perikatan-perikatan timbul dari persetujuan atau undang-undang. Pasal 1233 :”Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen).Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah
perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang Perikatan (Psl 1233 BW) Perjanjian (Psl.1313 BW) UU Psl. 1352 BW UU saja (Psl. 104, Psl. 625 BW) UU dan Perbuatan Manusia (Psl.1353 BW) Perbuatan yang menurut hukum (Psl. 1354 dan Psl. 1359 BW)` Perbuatan yang melawan hukum (Psl. 1365 BW)

lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka
hal-hal tersebut termasuk sebagai sumber-sumber perikatan.



Sumber                        : http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan



Hukum Perikatan - Perjanjian

Hukum Perikatan
Dalam bahasa Belanda, istilah perikatan dikenal dengan istilah “verbintenis”. Istilah perikatan tersebut lebih umum digunakan dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan diartikan sebagai sesuatu yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Namun, sebagaimana telah dimaklumi bahwa buku III BW tidak hanya mengatur mengenai ”verbintenissenrecht” tetapi terdapat juga istilah lain yaitu ”overeenkomst”.
Dalam berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-
macam istilah untuk menterjemahkanverbintenis danovereenkomst, yaitu :
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
2. Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untukverbintenis dan perjanjian untukovereenkomst.
3. Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia dikenal tiga istilah terjemahan bagi ”verbintenis” yaitu :
1. perikatan.
2. perutangan.
3. perjanjian.
Sedangkan untuk istilah ”overeenkomst” dikenal dengan istilah terjemahan dalam bahasa Indonesia yaitu :
1. perjanjian.
2. persetujuan.
Untuk menentukan istilah apa yang paling tepat untuk digunakan dalam mengartikan istilah perikatan, maka perlu kiranya mengetahui makana terdalam arti istilah masing-masing.Verbintenis berasal dari kata kerja
verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan sesuai dengan definisiverbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan sebagai istilah perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari dari kata kerja overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”. Jadiovereenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka istilahovereenkomst lebih tepat digunakan untuk mengartikan istilah persetujuan.
 Pengertian Perikatan
Pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III BW, walaupun telah jelas tertera bahwa Buku III BW mengatur tentang perikatan. Namun dalam pasal-pasal pada Buku III BW tidak dapat ditemukan satu pasalpun yang memberikan arti mengenai perikatan itu sendiri. Meskipun pengertian perikatan tidak dapat ditemukan dalam Buku III KUH Perdata, tetapi pengertian perikatan diberikan oleh ilmu pengetahuan Hukum Perdata. Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi. sedangkan pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau
3
pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Bila ditinjau lebih lanjut dari pengertian perikatan, maka dapat kita ketahui bersama bahwa dalam satu perikatan paling sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban. Suatu persetujuan dapat menimbulkan satu atau beberapa perikatan tergantung dari jenis persetujuannya. Untuk lebih dapat dipahami dapat dikemukakan dalam contoh berikut ini :
1. A menitipkan sepeda motornya dengan cuma-cuma kepada B, maka terjadilah perikatan antara A dengan B yang menimbulkan hak pada A untuk menerima kembali sepeda motornya tersebut dan kewajiban pada B untuk meyerahkan sepeda motor tersebut.
2. A menjual mobilnya kepada B, maka timbul perikatan antara A dengan B yang menimbulkan kewajiban pada A untuk menyerahkan mobilnya dan hak pada B atas penyerahan mobil tersebut. Selain itu juga menimbulkan kewajiban pada A untuk menerima pembayaran dan kewajiban pada B untuk membayar kepada A.
Perjanjian
 Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan suatu hal. Dari perjanjian ini ditimbulkan suatu peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan tersebut dinamakan Perikatan.
  • Ad 2 :
  • a. Karena UU saja
  • b. Karena perbuatan manusia
  Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian adalah :
  • Asas Kebebasan Berkontrak
  • Pasal 1338 BW menyatakan bahwa “ Segala sesuatu perjanjian dibuat secara sah oleh para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya “
  • Sistem terbuka adalah bahwa “ Dalam membuat perjanjian para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjian sebagai Undang-Undang bagi mereka sendiri “
  • ·  Asas Konsensualitas Bahwa perjanjian tersebut lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 BW “ Sahnya suatu perjanjian adalah : 1. Kata sepakat, 2. Cakap bertindak, 3. Sesuatu hal tertentu, 4. Causa yang halal.
 Ad 1 : Kata Sepakat Bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan. Ad 2 : Cakap Bahwa yang melakukan perjanjian adalah orang yang harus dewasa. Ad 3 : Sesuatu hal tertentu Artinya apa yang harus diperjanjikan harus jelas dan terperinci, sehingga diketahui hak dan kewajiban para pihak. Ad 4 : Causa yang halal Artinya bahwa isi daripada perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan/causa yang diperbolehkan oleh UU, kesusilaan dan ketertiban umum.
 Syarat 1 dan 2 disebut syarat subyektif, sedangan 3 dan 4 disebut syarat objektifnya
  • Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi, maka salah satu pihak dapat dimintakan pembatalannya (canceling),
  • Sedang apabila syaray objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum yang artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada (null and void)
Bagian daripada perjanjian adalah :
  • Bagian Inti/Ensensial
  • merupakan bagian yang sifatnya harus ada di dalam perjanjian. Bagian ini menentukan perjanjian itu ada.
  • Bagian Bukan Inti
  • Naturalia mrpkan sifat yang dibawa oleh perjanjian ( menjamin tidak ada cacad dlm benda yang akan dijual),
  • Aksidentialita mrpkan sifat yang melekat pada perjanjian
  WANPRESTASI
  • Wanprestasi imbul apabila salah satu pihak tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
  • Bentuk dari wanprestasi adalah :
  • a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan,
  • b. Melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana mestinya,
  • c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
  • d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
 Hukuman bagi Debitur yang dianggap wanprestasi adalah :
  • Membayar kerugian yang diderita Kreditur, ( Biaya, Rugi dan Bunga )
  • Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian,
  • Peralihan resiko,
  • Resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak.
  • Membayar biaya perkara.
 Pembelaan Debitur yang dituduh wanprestasi adalah :
  • Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa ( overmacht/force majeur ),
  • Mengajukan bahwa Kreditor juga lalai (exceptio non adimpleti contractus),
  • Pelepasan Hak (rechtverwerking).
Pasal 1381 BW menyebutkan bahwa hapusnya Perikatan adalah :
  • Pembayaran,
  • Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan barang,
  • Pembaharuan hutang,
  • Perjumpaan hutang/kompensasi,
  • Percampuran hutang,
  • Pembebasan hutang,
  • Musnahnya suatu barang,
  • Pembatalan,
  • Berlakunya syarat Batal,
  • Lewat Waktu.


Sumber                        : http://www.scribd.com/doc/16733475/Hukum-Perikatan
                         http://www.slideshare.net/diarta/hukum-perikatan



Rabu, 16 November 2011

UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2004
TENTANG
SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :                a. bahwa atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Proklamasi
Kemerdekaan telah mengantarkan bangsa Indonesia menuju
cita-cita berkehidupan kebangsaan yang bebas, bersatu,
berdaulat, adil, dan makmur;
b. bahwa pemerintahan negara Indonesia dibentuk untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia;
c. bahwa tugas pokok bangsa selanjutnya adalah
menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta
mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan
demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan;
d. bahwa untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan
efektif, efisien, dan bersasaran maka diperlukan perencanaan
pembangunan Nasional;
]
- 2 -
e. bahwa agar dapat disusun perencanaan pembangunan Nasional
yang dapat menjamin tercapainya tujuan negara perlu adanya
sistem perencanaan pembangunan Nasional;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
membentuk Undang-undang tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
Mengingat : ...
Mengingat :                  1. Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21,
Pasal 23, Pasal 23C, Pasal 33, Pasal 34 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor
4287);








Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PERENCANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL.
]
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan:
1. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan
masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
2. Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh
semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan
bernegara.
3. Sistem ...
3. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka
panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan
oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat
Pusat dan Daerah.
4. Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang selanjutnya
disingkat RPJP, adalah dokumen perencanaan untuk periode 20
(dua puluh) tahun.
5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya
disingkat RPJM, adalah dokumen perencanaan untuk periode 5
(lima) tahun.
6. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana
Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen
perencanaan Kementerian/ Lembaga untuk periode 5 (lima)
tahun.
7. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja
Perangkat Daerah, yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD,
adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah
untuk periode 5 (lima) tahun.
8. Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, yang selanjutnya
disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP), adalah dokumen
perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun.
9. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, yang selanjutnya
disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), adalah
dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
10. Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, yang
selanjutnya disebut Rencana Kerja Kementerian/Lembaga
(Renja-KL), adalah dokumen perencanaan
Kementrian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.
11. Rencana ...
11. Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat
Daerah, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Satuan Kerja
Perangkat Daerah (Renja-SKPD), adalah dokumen perencanaan
Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
12. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan
pada akhir periode perencanaan.
13. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan
dilaksanakan untuk mewujudkan visi.
14. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program
indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.
15. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh Pemerintah
Pusat/Daerah untuk mencapai tujuan.
16. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih
kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga
untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi
anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh
instansi pemerintah.
17. Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan
instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan
perUndang-undangan lainnya.
18. Program Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah adalah sekumpulan rencana kerja suatu
Kementerian/Lembaga atau Satuan Kerja Perangkat Daerah.
19. Program Lintas Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah adalah sekumpulan rencana kerja beberapa
Kementerian /Lembaga atau beberapa Satuan Kerja Perangkat
Daerah.
20. Program ...
20. Program Kewilayahan dan Lintas Wilayah adalah sekumpulan
rencana kerja terpadu antar-Kementerian/Lembaga dan Satuan
Kerja Perangkat Daerah mengenai suatu atau beberapa wilayah,
Daerah, atau kawasan.
21. Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya
disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka
menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana
pembangunan Daerah.
22. Menteri adalah pimpinan Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional.
23. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi perencanaan
pembangunan di Daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota adalah
kepala badan perencanaan pembangunan Daerah yang
selanjutnya disebut Kepala Bappeda.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Pembangunan Nasional diselenggarakan berdasarkan
demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
Nasional.
(2) Perencanaan Pembangunan Nasional disusun secara sistematis,
terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap
perubahan.
(3) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diselenggarakan
berdasarkan Asas Umum Penyelenggaraan Negara.
(4) Sistem ...
 (4) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi
baik antarDaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara
efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
BAB III
RUANG LINGKUP
PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Pasal 3
(1) Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup
penyelenggaraan perencanaan makro semua fungsi
pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara
terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Perencanaan Pembangunan Nasional terdiri atas perencanaan
pembangunan yang disusun secara terpadu oleh
Kementerian/Lembaga dan perencanaan pembangunan oleh
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menghasilkan:
a. rencana pembangunan jangka panjang;
b. rencana pembangunan jangka menengah; dan
c. rencana pembangunan tahunan.
Pasal 4 ...
Pasal 4
(1) RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya
pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan
Nasional.
(2) RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada
RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional,
kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas
Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan,
serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran
perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan
fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan
kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
(3) RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat
prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro
yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh
termasuk arah kebijakan fiskal, serta program
Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga,
kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka
pendanaan yang bersifat indikatif.

Pasal 5
(1) RPJP Daerah memuat visi, misi, dan arah pembangunan Daerah
yang mengacu pada RPJP Nasional.
(2) RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan
program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman
pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional,
memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi
pembangunan Daerah, kebijakan umum, dan program Satuan
Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah,
dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana
kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang
bersifat indikatif.
(3) RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu
pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah,
prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja, dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh
pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat.
Pasal 6
(1) Renstra-KL memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan
fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan
berpedoman pada RPJM Nasional dan bersifat indikatif.
(2) Renja-KL disusun dengan berpedoman pada Renstra-KL dan
mengacu pada prioritas pembangunan Nasional dan pagu
(3) RKPD ...
indikatif, serta memuat kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh
Pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat.
Pasal 7
(1) Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai
dengan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah serta
berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif.
(2) Renja-SKPD disusun dengan berpedoman kepada Renstra
SKPD dan mengacu kepada RKP, memuat kebijakan, program,
dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung
oleh Pemerintah Daerah maupun yang ditempuh dengan
mendorong partisipasi masyarakat.
BAB IV
TAHAPAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Pasal 8
Tahapan Perencanaan Pembangunan Nasional meliputi:
a. penyusunan rencana;
b. penetapan rencana;
c. pengendalian pelaksanaan rencana; dan
d. evaluasi pelaksanaan rencana.
Pasal 9
(1) Penyusunan RPJP dilakukan melalui urutan:
a. penyiapan rancangan awal rencana pembangunan;
b. musyawarah perencanaan pembangunan; dan
c. penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
(2) Penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD
dilakukan melalui urutan kegiatan:
a. penyiapan rancangan awal rencana pembangunan;
b. penyiapan rancangan rencana kerja;
c. musyawarah perencanaan pembangunan; dan
d. penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
BAB V
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA
Bagian Pertama
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Pasal 10
 (1) Menteri menyiapkan rancangan RPJP Nasional.
(2) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJP Daerah.
(3) Rancangan ...
(3) Rancangan RPJP Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan rancangan RPJP Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) menjadi bahan utama bagi Musrenbang.
Pasal 11
(1) Musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJP
dan diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara Negara dengan
mengikutsertakan masyarakat.
(2) Menteri menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang
Nasional.
(3) Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka
Panjang Daerah.
(4) Musrenbang Jangka Panjang Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan Musrenbang Jangka Panjang Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling
lambat 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya periode RPJP yang
sedang berjalan.
Pasal 12
(1) Menteri menyusun rancangan akhir RPJP Nasional berdasarkan
hasil Musrenbang Jangka Panjang Nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
 (2) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJP Daerah
berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
Pasal 13
(1) RPJP Nasional ditetapkan dengan Undang-undang.
(2) RPJP Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Bagian ...
Bagian Kedua
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Pasal 14
(1) Menteri menyiapkan rancangan awal RPJM Nasional sebagai
penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden ke dalam
strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program
prioritas Presiden, serta kerangka ekonomi makro yang
mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh
termasuk arah kebijakan fiskal.
(2) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RPJM Daerah
sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah
ke dalam strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum,
program prioritas Kepala Daerah, dan arah kebijakan keuangan
Daerah.
Pasal 15
(1) Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan rancangan
Renstra-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
berpedoman kepada rancangan awal RPJM Nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
(2) Menteri menyusun rancangan RPJM Nasional dengan
menggunakan rancangan Renstra-KL sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan berpedoman pada RPJP Nasional.
(3) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyiapkan rancangan
Renstra-SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
dengan berpedoman pada rancangan awal RPJM Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
 (4) Kepala Bappeda menyusun rancangan RPJM Daerah dengan
menggunakan rancangan Renstra-SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan berpedoman pada RPJP Daerah.
Pasal 16 ...
Pasal 16
(1) Rancangan RPJM Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2) dan rancangan RPJM Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (4) menjadi bahan bagi Musrenbang Jangka
Menengah.
(2) Musrenbang Jangka Menengah diselenggarakan dalam rangka
menyusun RPJM diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara
Negara dan mengikutsertakan masyarakat.
(3) Menteri menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah
Nasional.
(4) Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang Jangka
Menengah Daerah.
Pasal 17
(1) Musrenbang Jangka Menengah Nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), dilaksanakan paling lambat 2
(dua) bulan setelah Presiden dilantik.
(2) Musrenbang Jangka Menengah Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (4), dilaksanakan paling lambat 2 (dua)
bulan setelah Kepala Daerah dilantik.
Pasal 18
 (1) Menteri menyusun rancangan akhir RPJM Nasional
berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).
(2) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RPJM Daerah
berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
Pasal 19 ...
Pasal 19
(1) RPJM Nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik.
(2) Renstra-KL ditetapkan dengan peraturan pimpinan
Kementerian/Lembaga setelah disesuaikan dengan RPJM
Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik.
(4) Renstra-SKPD ditetapkan dengan peraturan pimpinan Satuan
Kerja Perangkat Daerah setelah disesuaikan dengan RPJM
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Bagian Ketiga
Rencana Pembangunan Tahunan
Pasal 20
(1) Menteri menyiapkan rancangan awal RKP sebagai penjabaran
dari RPJM Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1).
 (2) Kepala Bappeda menyiapkan rancangan awal RKPD sebagai
penjabaran dari RPJM Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (3).
Pasal 21
(1) Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan rancangan
Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) dan berpedoman pada Renstra-KL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(2) Menteri ...
(2) Menteri mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKP
dengan menggunakan rancangan Renja-KL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyiapkan Renja-
SKPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan
mengacu kepada rancangan awal RKPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dan berpedoman pada
Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4).
(4) Kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan
RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 22
(1) Rancangan RKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2)
dan rancangan RKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (4) menjadi bahan bagi Musrenbang.
 (2) Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP dan RKPD diikuti
oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan.
(3) Menteri menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKP.
(4) Kepala Bappeda menyelenggarakan Musrenbang penyusunan
RKPD.
Pasal 23
(1) Musrenbang penyusunan RKP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (3) dilaksanakan paling lambat bulan April.
(2) Musrenbang penyusunan RKPD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (4) dilaksanakan paling lambat bulan Maret.
Pasal 24 ...
Pasal 24
(1) Menteri menyusun rancangan akhir RKP berdasarkan hasil
Musrenbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).
(2) Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir RKPD berdasarkan
hasil Musrenbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2).
Pasal 25
(1) RKP menjadi pedoman penyusunan RAPBN.
(2) RKPD menjadi pedoman penyusunan RAPBD.
Pasal 26
(1) RKP ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
 (2) RKPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 27
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RPJP
Nasional, RPJM Nasional, Renstra-KL, RKP, Renja-KL, dan
pelaksanaan Musrenbang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan RPJP
Daerah, RPJM Daerah, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan
pelaksanaan Musrenbang Daerah diatur dengan Peraturan
Daerah.
BAB VI
PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA
Pasal 28
(1) Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dilakukan
oleh masing-masing pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan
Kerja Perangkat Daerah.
(2) Menteri/...
(2) Menteri/Kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil
pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masingmasing
pimpinan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja
Perangkat Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Pasal 29
 (1) Pimpinan Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja
pelaksanaan rencana pembangunan Kementerian/Lembaga
periode sebelumnya.
(2) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah melakukan evaluasi
kinerja pelaksanaan rencana pembangunan Satuan Kerja
Perangkat Daerah periode sebelumnya.
(3) Menteri/Kepala Bappeda menyusun evaluasi rencana
pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan
Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan evaluasi Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi
bahan bagi penyusunan rencana pembangunan
Nasional/Daerah untuk periode berikutnya.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengendalian dan evaluasi
pelaksanaan rencana pembangunan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
DATA DAN INFORMASI
Pasal 31
Perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi
yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
BAB VIII ...
BAB VIII
KELEMBAGAAN
Pasal 32
(1) Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas
Perencanaan Pembangunan Nasional.
(2) Dalam menyelenggarakan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Presiden dibantu oleh Menteri.
(3) Pimpinan Kementerian/Lembaga menyelenggarakan
perencanaan pembangunan sesuai dengan tugas dan
kewenangannya.
(4) Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat mengkoordinasikan
pelaksanaan perencanaan tugas-tugas Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan.
Pasal 33
(1) Kepala Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas
perencanaan pembangunan Daerah didaerahnya.
(2) Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan Daerah,
Kepala Daerah dibantu oleh Kepala Bappeda.
(3) Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah menyelenggarakan
perencanaan pembangunan Daerah sesuai dengan tugas dan
kewenangannya.
(4) Gubernur menyelenggarakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi,
dan sinergi perencanaan pembangunan antarkabupaten/kota.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
(1) Sebelum RPJP Nasional menurut ketentuan dalam Undangundang
ini ditetapkan, penyusunan RPJM Nasional tetap
mengikuti
ketentuan ...
ketentuan Pasal 4 ayat (2) dengan mengesampingkan RPJP
Nasional sebagai pedoman, kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perUndang-undangan.
(2) Sebelum RPJP Nasional menurut ketentuan dalam Undangundang
ini ditetapkan, penyusunan RPJP Daerah tetap
mengikuti ketentuan Pasal 5 ayat (1) dengan mengesampingkan
RPJP Nasional sebagai pedoman, kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan.
(3) Sebelum RPJP Daerah menurut ketentuan dalam Undangundang
ini ditetapkan, penyusunan RPJM Daerah tetap
mengikuti ketentuan Pasal 5 ayat (2) dengan mengesampingkan
RPJP Daerah sebagai pedoman, kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional menurut Undang-undang
ini ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan setelah diundangkannya
Undang-undang ini.
Pasal 36
Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undangundang
ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undangundang
ini diundangkan.
Pasal 37
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar ...
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 104.
Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi Sekretaris
Kabinet
Bidang Hukum dan
Perundang-undangan
Lambock V.
Nahattands
<<< Penjelasan >>>

Sumber  : http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:0UnCZZocJwEJ:kambing.ui.ac.id/bebas/v01/RI/uu/2004/uu-2004-025.pdf+uu+tentang+pembangunan&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESgnJndegh-W1nLk-cM1d7UrpmU9AFn1YhunnNHlJerz5oMbCvXfSxVuK2nOVYEwzyJ0ETBlFDZ3lLg3aQRQzX8570YJmPZadiMO4M77fPrUCNZ1tQFOb6sRz84FamxR602qMWOI&sig=AHIEtbQoZK16UY1kUOr-3Ew74FAWR3uUpw